Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejarah Bangsa
Indonesia dimulai dari sejarah menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi
negara. Landasan yang dijadikan pijakan adalah konstitusi dan ideologi. Atas
dasar tersebut, pada 18 Agustus 1945, diselenggarakan sidang PPKI yang berhasil
menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara dan menetapkan
Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.
Dalam rapat BPUPKI yang membahas rancangan undang-undang
dasar, permasalahan bentuk negara menjadi salah satu pembahasan yang
diperdebatkan secara serius. Usulan bentuk negara yang muncul pada waktu itu
yaitu negara kesatuan dan negara federal. Namun kemudian disepakati bentuk
Negara Indonesia ialah negara kesatuan, sebagaimana tertera dalam Pasal 1 ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945. Pilihan BPUPKI ini tidak lagi dipersoalkan ketika
pada 18 Agustus 1945 PPKI menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Soekarno mengulas pemikiran bahwa nasionalisme Indonesia
atau negara kesatuan adalah sebuah takdir. Hal ini terungkap dalam pidato
Soekarno tanggal 1 Juni 1945, yaitu sebagai berikut:
149
“Allah S.W.T membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau
kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” di
situ. Seorang anak kecil pun -jikalau ia melihat peta dunia- ia dapat
menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu
dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan yang
besar, Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu Benua
Asia dan Benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa
pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil,
Maluku dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan. Demikan
pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon
yang membentang pada pinggir timur Benua Asia sebagai golfbreker atau
penghadang gelombang lautan Pasifik, adalah satu kesatuan.
Anak kecil pun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu
kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh Lautan Hindia yang luas dan Gunung
Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris
adalah satu kesatuan.
Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu
kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh Allah S.W.T demikian rupa. Bukan Sparta
saja, bukan Athena saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athena plus
Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain -segenap kepulauan Yunani- adalah
satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah
air kita? Menurut geopolitik, maka
150
Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat-bukan Jawa
saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja,
atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi
suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera-itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan
tempat-antara rakyat dan buminy- maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan
Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup le desir d’etre ensemble, tidak
cukup definisi Otto Bauer aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene
Charaktergemeinschaft itu.
Maaf, Saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Di
antara bangsa Indonesia, yang paling ada le desir d’etre ensemble adalah rakyat
Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2 milyun.Rakyat ini merasa dirinya satu
keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian
kecil dari satu kesatuan! Penduduk Yogya pun adalah merasa le desir d’etre
ensemble, tetapi Yogya pun hanya satu bahagian kecil dari satu kesatuan. Di
Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan le desir d’etre ensemble, tetapi
Sunda pun hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia -Natie Indonesia- bukanlah
sekadar contoh satu golongan orang yang hidup dengan le desir d’etre ensemble
di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau
Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang
menurut geopolitik, yang telah ditentukan oleh
151
Allah SWT, tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau
Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya! Karena antara
70.000.000 ini sudah ada le desir d’etre ensemble, sudah terjadi
Charaktergemeinschaft! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah
orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu,
sekali lagi satu!
Ke sinilah kita semua harus menuju: Mendirikan satu
Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke
Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara Tuan-tuan yang tidak
mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”. Ke
sinilah kita harus menuju semuanya.
Keinginan bangsa Indonesia untuk membangun sendiri negara
yang merdeka dan berdaulat mendapat tantangan besar dari pemerintah Belanda.
Pada 1946, secara sepihak Belanda kembali masuk ke Indonesia mengatasnamakan
sebagai penguasa yang sah karena berhasil mengalahkan Jepang yang sebelumnya
mengambil alih kekuasaan Hindia Belanda (Indonesia) dari Belanda. Menghadapi
situasi semacam ini, menggeloralah semangat revolusi kemerdekaan yang
mengakibatkan Indonesia yang baru merdeka harus secara fisik berperang melawan
Belanda yang ingin merampas kembali kemerdekaan Indonesia. Perjuangan
mempertahankan kemerdekaan tersebut melewati beberapa episode penting yang
mengkombinasikan antara perang fisik dan perang diplomasi atau
perundingan-perundingan dalam kurun waktu 1945-1949.
152
Pada 19 Desember 1948, akibat serangan Belanda yang berhasil
menguasai Yogyakarta waktu itu dijadikan ibu kota Negara Republik Indonesia,
Sidang Kabinet Republik Indonesia yang dipimpin oleh Wakil Presiden Moh. Hatta
memutuskan untuk memberikan mandat kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara agar
membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dan seandainya tidak
mungkin, supaya menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang pada waktu itu berada di
luar negeri (New Delhi) untuk menggantikan Mr. Sjafruddin.
Secara serentak Kabinet Hatta mengeluarkan dua surat mandat
tentang pembentukan pemerintah darurat di Sumatera, satu untuk Mr Sjafruddin
Prawiranegara di Bukit Tinggi, dan satu lagi untuk Mr. A.A. Maramis di New
Delhi.
Tanggal 22 Desember 1948, dalam rapat di Sumatera yang
dihadiri antara lain oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr.T. M. Hassan, Mr.S.
M. Rasyid, Kolonel Hidayat, Mr.Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti
Sitompul, Maryono Danubroto, Direktur BNI Mr. A. Karim, Rusli Rahim, dan Mr.
Latif memproklamirkan pemerintah darurat. Pendirian PDRI ini merupakan satu
bentuk perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia terhadap Belanda.
Pemerintah darurat merupakan upaya pengalihan kekuasaan yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia kepada pihak tertentu untuk menjalankan
pemerintahan karena pemerintah Indonesia pada masa itu tidak dapat menjalankan
fungsi pemerintahan. Hal ini karena pemerintahan yang tengah berlangsung
mengalami
153
ketidakkuasaan dalam menjalankan pemerintahan disebabkan
adanya agresi Belanda yang berhasil menangkap Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Mohammad Hatta selaku kepala pemerintahan dan menguasai pusat
pemerintahan. Peran pemerintah darurat ini menjadi sentral karena merupakan
perpanjangan tangan dari pemerintah Indonesia yang pada masa itu tidak dapat
menjalankan pemerintahan.
Berdirinya pemerintah darurat memiliki satu arti penting,
yakni Indonesia masih memiliki eksistensi ketika terjadi penyerangan dan
penguasaan yang dilakukan oleh Belanda. Walaupun merupakan pemerintahan hasil
pelimpahan kekuasaan dan bersifat sementara, PDRI telah menjadi satu mata
rantai sejarah Indonesia yang berhasil membentuk Indonesia. Pada saat
berdirinya, PDRI melakukan berbagai upaya perlawanan terhadap Belanda baik melalui
jalur militer ataupun melalui jalur diplomasi.
Melalui jalur militer ditandai dengan didirikannya beberapa
pangkalan militer dan dilakukannya upaya perlawanan dan gerilya. Dalam bidang
diplomasi, pada saat berdirinya, PDRI berhasil dilakukan upaya perundingan
antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda, yang salah satu perundingan
penting tersebut adalah pembicaraan antara Roem dan Van Roeyen dan telah
tercapai suatu kesepakatan antara keduanya itu, yakni Yogya dikembalikan kepada
Republik Indonesia, dan kemudian akan diadakan perundingan-perundingan mengenai
penyerahan kedaulatan. Setelah selesai perundingan Roem-Royen itu, maka
Yogyakarta berhasil dikembalikan, serta Soekarno-Hatta dan
154
menteri-menteri lain yang ditawan dikembalikan ke
Yogyakarta.
Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, Belanda terus
merongrong kedaulatan Negara Indonesia. Mempertahankan negara dengan semangat
”sekali merdeka tetap merdeka” dan untuk menghindari jatuhnya korban akibat
agresi Belanda, para pemimpin bangsa bersedia melakukan berbagai perundingan.
Setelah beberapa kali terjadi pertempuran dan dilakukan perundingan antara
Indonesia dengan Belanda, antara lain: Perjanjian Linggar Jati pada 25 Maret
1947, Perjanjian Renville pada 8 Desember 1947, dan Konfrensi Meja Bundar (KMB)
pada 23 Agustus 1949, dan puncaknya pada 27 Desember 1949, akhirnya Belanda
mengakui kedaulatan Republik Indonesia dengan syarat harus berbentuk Negara
Serikat.
KMB yang berlangsung di Den Haag pada 23 Agustus sampai 2
November 1949, berhasil mengakhiri konfrontasi fisik antara Indonesia dengan
Belanda. Hasil konferensi tersebut yang paling utama adalah ”pengakuan dan
penyerahan” kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Indonesia yang
disepakati akan disusun dalam struktur ketatanegaraan yang berbentuk negara
federal, yaitu negara Republik Indonesia Serikat.
Di samping itu, terdapat empat hal penting lainnya yang
menjadi isi kesepakatan dalam KMB, yaitu: Pertama, pembentukan Uni Belanda-
Republik Indonesia Serikat yang dipimpin oleh Ratu Belanda secara simbolis;
Kedua, Soekarno dan Moh. Hatta akan menjabat sebagai presiden dan wakil
presiden Republik Indonesia Serikat untuk
155
periode 1949-1950, dengan Moh. Hatta merangkap sebagai
perdana menteri; Ketiga, Irian Barat masih dikuasasi Belanda dan tidak
dimasukkan ke dalam Republik Indonesia Serikat sampai dilakukan perundingan
lebih lanjut; Keempat, Pemerintah Indonesia harus menanggung hutang negeri
Hindia Belanda sebesar 4,3 miliar gulden (Natsir, Mohammad, 2008).
Di satu sisi hasil KMB tersebut harus dianggap sebagai
sebuah kemajuan karena sejak saat itu, setelah Belanda ”mengakui dan
menyerahkan” kedaulatan kepada bangsa Indonesia, secara resmi Indonesia menjadi
negara merdeka dan terlepas dari cengkeraman Belanda. Namun di sisi lain,
kesepakatan yang dihasilkan dalam KMB tidak serta merta menyelesaikan
permasalahan bagi Indonesia, terlebih bentuk negara federal yaitu Republik
Indonesia Serikat adalah produk rekayasa van Mook yang suatu saat dijadikan
strategi untuk merebut kembali Indonesia melalui politik devide et impera.
Di dalam negeri sendiri juga muncul pergolakan,
demonstrasi-demonstrasi dan berbagai mosi di Parlemen menyusul hasil KMB dan
perubahan bentuk negara dari kesatuan menjadi federal tersebut. Pergolakan ini
muncul sedemikian rupa dan sangat mengancam kelangsungan bangsa dan negara
Indonesia yang baru merdeka, sementara pemerintah Republik Indonesia Serikat
tampak pasif dan defensif serta tidak mengambil inisiatif untuk mengambil
langkah-langkah penyelamatan.
Pemerintah lebih banyak diam dan mengambil sikap pasif
dengan berlindung di bawah semboyan klise “semua
156
terserah pada kehendak rakyat”, padahal kalau pergolakan
tersebut dibiarkan diselesaikan sendiri oleh rakyat, tanpa bimbingan dan
komando dari pemerintah, dapat dipastikan akan menimbulkan perpecahan atau
disintegrasi yang dapat menghancurkan keutuhan berbangsa dan bernegara.
Dalam situasi seperti ini, Moh. Natsir tampil dengan mosi
yang meminta pemerintah dan seluruh elemen bangsa segera menyelesaikan
permasalahan tersebut secara integral. Mosi tersebut kemudian dikenal sebagai
“Mosi Integral Natsir”. Sebenarnya, selain ditandatangani oleh Natsir, mosi ini
juga ditandatangani oleh beberapa ketua fraksi di parlemen yaitu: Soebadio
Sastrasatomo, Hamid Algadri, Sakirman, K. Werdojo, AM Tambunan, Ngadiman Hardjosubroto,
B. Sahetapy Engel, Tjokronegoro, Moch. Tauchid, Amels, dan Siradjudddin Abbas.
Tidak pernah ada yang mempersoalkan bila kemudian mosi tersebut kemudian lebih
dikenal sebagai Mosi Integral Natsir, karena memang Natsir yang memotori dan
mengonsep mosi tersebut yang selanjutnya didukung oleh fraksi-fraksi yang lain.
Dalam mosi tersebut, sesungguhnya tidak ada dorongan secara
eksplisit untuk membentuk negara kesatuan, bahkan Natsir sendiri mengatakan
bahwa mosi tersebut tak ada kaitannya dengan permasalahan unitarisme (negara
kesatuan) dan federalisme (negara federal). Yang digunakan di dalam mosi ini
adalah istilah “integral” dalam arti penyelesaian secara menyeluruh dan
komprehensif (Natsir, Mohammad, 2008).
Mosi Integral Natsir tertanggal 3 April 1950 merupakan
monumen sejarah yang mengantarkan Indonesia
157
kembali menjadi negara kesatuan setelah sempat dicabik-cabik
dengan bentuk negara federal (federalisme). Mosi tersebut sangat penting dalam
menyelamatkan keutuhan bangsa dan negara pada saat bangsa dan negara terancam
oleh disintegrasi yang bermuara pada pembentukan kembali negara Republik
Indonesia sebagai negara kesatuan.
Mosi Integral Natsir sebenarnya netral dari kontroversi
antara kehendak kembali ke negara kesatuan atau melanggengkan negara federal.
Oleh karena itu, pembentukan negara kesatuan bukanlah tujuan langsung dari Mosi
yang disampaikan Natsir tersebut.
Natsir mengatakan bahwa maksud mosi yang diajukannya tidak
terkait dengan soal bentuk negara kesatuan dan federalisme (bentuk negara
federal) melainkan menyangkut masalah yang lebih besar dari itu, yaitu
“persatuan” untuk keselamatan Negara Republik Indonesia.
Konsep “integral” (menyeluruh dan komprehensif) atau
“persatuan” (integrasi) memang tidak identik dengan “negara kesatuan” melainkan
lebih merupakan “persatuan kehendak jiwa atau sikap batin” seluruh warga bangsa
untuk tetap bersatu sebagai bangsa Indonesia.
Negara kesatuan adalah konsep ketatanegaraan yang mengatur
hubungan kekuasaan (gezagsverhouding) antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
sedangkan persatuan adalah sikap batin atau semangat kolektif untuk bersatu
dalam ikatan kebangsaan dan negara.
Tentang persatuan sikap batin atau kejiwaan ini, sejak awal
Bung Karno sebagai founding fathers mengajak bangsa
158
Indonesia untuk memahami dan menyelami konsep yang dibangun
oleh Renan seorang pakar dari Prancis, yang mengatakan bahwa bangsa adalah
segerombolan atau sekumpulan manusia yang memiliki solidaritas yang tinggi
karena adanya kesatuan jiwa (soul) yang ingin bersatu dan bersama. Bangsa
Indonesia juga dibangun berdasar konsep tentang bangsa dari Otto Bauer yang
mengatakan bahwa bangsa adalah sekumpulan manusia yang memiliki persamaan watak
karena adanya persamaan nasib. Dalam pidatonya pada 5 Juli 1958 di Istana
Negara, Bung Karno melengkapi teori Renan dan Bauer dengan teori geopolitiknya.
Tentang teori geopolitik ini, Bung Karno mengatakan bahwa:
“ ...menurut pendapat saya, yang dikatakan bangsa itu adalah
segerombolan manusia yang -kalau mengambil Renan- keras ia punya le desir
d’etre ensemble (keinginan, kehendak untuk bersatu), -kalau mengambil Otto
Bauer- keras ia punya charaktergemeinschaft (persatuan, persamaan watak yang
dilahirkan karena persamaan nasib), tetapi yang berdiam di atas satu wilayah
geopolitik yang nyata satu persatuan. Apa wilayah geopolitik yang nyata satu
persatuan, satu kesatuan itu, apa?....... Geo dari perkataan geografi, peta
gambarnya. Geopolitik ialah hubungan antara letaknya tanah dan air, petanya itu
dengan rasa-rasa dan kehidupan politik.”
Disini jelas-jelas Bung Karno mengatakan bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia harus menjadi wadah yang menyatukan seluruh aspek
kehidupan nasional meliputi aspek geografi, demografi, sumber kekayaan alam,
ideologi,
159
politik, ekonomi, sosial budaya sampai pertahanan dan
keamanan bangsa (Soepandji, Susilo Budi, 2011).
Memperhatikan keadaan negara-negara bagian yang sulit
dikoordinasikan dan berkurangnya wibawa pemerintah negara federal selama
pelaksanaan konstitusi Republik Indonesia Serikat, rakyat Indonesia sepakat
untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Negara Kesatuan adalah pilihan yang
dianggap tepat pada saat proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.
Pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia resmi kembali ke
negara kesatuan dengan konstitusi UUDS 1950, sebagaimana terdapat pada Pasal 1
ayat (1) UUDS 1950 yang menetapkan bahwa Negara Republik Indonesia adalah
negara dengan bentuk kesatuan.
Meskipun sudah menganut kembali bentuk negara kesatuan,
namun upaya-upaya untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
masih terjadi, yang ditandai dengan terjadinya beberapa pemberontakan dalam
kurun waktu 1950 sampai dengan 1958 antara lain Pemberontakan Angkatan Perang
Ratu Adil di Bandung pada tanggal 23 Januari 1950, Pemberontakan Andi Azis di
Makasar pada tanggal 5 April 1950, pemberontakan Republik Maluku Selatan di
Ambon pada tanggal 25 April 1950, pemberontakan Ibnu Hajar di Kalimantan
Selatan pada tanggal 10 Oktober 1950, pemberontakan DI/TII Pimpinan Kahar
Mudzakkar di Sulawesi Selatan pada tanggal 17 Agustus 1951, pemberontakan
Batalyon 426 di Jawa Tengah pada tanggal 1 Desember 1951, pemberontakan DI/TII
Pimpinan Daud Beureuh di Banda
160
Aceh pada tanggal 20 September 1953, peristiwa Dewan Banteng
di Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956, pemberontakan Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia pada tanggal 15 Februari 1958, serta Perjuangan
Rakyat Semesta yang menyatakan membantu Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia pada tanggal 15 Februari 1958 (Syafiie IK. dkk., 1994).
Serangkaian pemberontakan tersebut menyebabkan adanya
ketidaksesuaian penyelenggaraan pemerintahan oleh aparat negara, terjadi
hubungan yang tidak harmonis antara legislatif dan eksekutif, dan sebagian
anggota konstituante ada yang menyatakan tidak bersedia lagi menghadiri sidang
pleno konstituante. Keadaan ini yang mendorong Presiden Soekarno menyatakan
kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 pada 5 Juli 1959 yang dikenal dengan
istilah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dekrit Presiden tersebut, meneguhkan kembali bahwa pilihan
bentuk negara kesatuan adalah pilihan tepat yang mampu mewadahi keanekaragaman
wilayah Indonesia.