KERAJAAN SUNDA PAJAJARAN POLITIK DAN KONFLIK

Tags


Claude Guillot dan kawan kawan, dalam buku Banten Sebelum Zaman Islam; Kajian Arkeologi di Banten Girang 932? 1526, mengemukakan kesannya tentang temuan "Banten Girang", antara lain sebagai berikut:

Patut diperhatikan juga kalau garis besar haluan Banten dalam hal politik luar negeri itu mendapat sorotan baru dari sejarah Banten Girang. Banten memberikan kesan seolah olah membalas dendam atas nama Banten Girang. Ibukota Pajajaran contohnnya, yang pernah menaklukan Banten Girang, diserang dan direbut Banten pada pertengahan abad ke 16 (Guillot,1996:137).
Kesan Guillot memang "perlu diperhatikan", bahkan kesan tersebut harus dicermati. Seringnya digunakan sebutan Pajajaran, yang diperankan sebagai "musuh Banten", harus ada penjelasan yang lebih memadai. Persoalan yang muncul, "Benarkah serangan Banten ke ibukota Pajajaran itu, adalah tindakan balas dendam, akibat pernah ditaklukannya Banten Girang?"
Pada bagian terdahulu sudah dijelaskan, bahwa Banten atau WanTan (dalam lafal berita Cina), tidak berdiri sendiri. Banten adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Pulasari, Salakanagara, Tarumanagara dan juga Kerajaan Sunda. Banten di masa silam, dengan segala perkembangan kehidupannya, tetap setia ikut alur waktu, menelusuri kurun zaman.
Untuk diketahui secara objektif, sebagai pembanding, akan ditampilkan naskah naskah kuno dari hasil kajian filologi, di antaranya: Kropak 406 Carita Parahiyangan; Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 2; Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I sarga 3; dan Pustaka Nagarakretabhumiparwa I sarga 5. Berdasarkan naskah naskah kuna tersebut, dirangkum dalam satu bahasan berkesinambungan, yang alur riwayatnya adalah sebagai berikut:
Sepeninggal dari Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (1475 Masehi), kawasan bekas Tarumanagara, kembali lagi terbagi dua, di antara dua putera mahkota pewaris Kerajaan Sunda. Sang Haliwungan, putera sulung dari Dewi Sarkati (puterinya Susuk Lampung, Sumatera Selatan), diwarisi wilayah barat dengan batas sungai Citarum, dengan nama yang masih sama: Kerajaan Sunda. Sang Haliwungan menjadi penguasa Kerajaan Sunda, dengan nama nobat Prabu Susuktunggal, berpusat pemerintahannya di kota Pakuan (Bogor). Sebelumnya, dari sejak tahun 1382 Masehi, Sang Haliwungan sempat dipercaya oleh ayahnya, menjadi Prabu Anom (Rajamuda atau Yuwaraja), sebagal pemegang tahta perwalian Kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan.
Dalam Kropak 406 Carita Parahiyangan, tokoh Sang Haliwungan tertulis : inya sang susuktunggal nu munar na pakwan reujeung sanghi  yang haluwesi, nu nyaeuran sanghiyang rancamaya. Dialah Sang Susuk tunggal yang merenovasi (memperindah) kota Pakuan, dan memperteguh dua tempat suci: Sanghiyang Haluwesi dan Sanghiyang Rancamaya. Mengenai tempat suci Sanghiyang Rancamaya, yang terletak di bukit Badigul (Bogor), sempat menjadi "sengketa " yang menghebohkan. Kini Sanghiyang Rancamaya dan bukit Badigulnya, tempat diperabukannya Raja-raja Sunda, sirna tanpa bekas, sudah berubah menjadi perumahan mewah Rancamaya.
Selanjutnya, sang Susuktunggal inyana nu nyieun palangka sriman sriwacana; nu mikadatwan sri bima  punta  narayana madura suradipati. Sang Susuktunggal yang membuat singasana Sriman Sriwacana dan tinggal di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Lokasi bekas keraton tersebut, kini sudah menjadi bangunan permanen, berupa villa warisan almarhum Bung Karno (Presiden RI pertama), dengan nama: Ing Puri Bima Sakti.
Kawekasan sang susuktunggal pawwatanna lemah suksi lemah hadi, mangka premana raja utama, lawasnya ratu saratus tahun. Peninggalan warisan Sang Susuktunggal, adalah tanah yang suci dan tanah baik (subur), sebagai tanda keutamaan raja. Lamanya menjadi raja adalah 100 tahun (1382 1482 Masehi).
Kemudian Sang Ningrat Kancana, putera sulung Dewi Mayangsari (puterinya Mangkubumi Bunisora Suradipati), diwarisi wilayah timur dengan batas sungal Citarum, dengan nama Kerajaan Galuh. Sang Ningrat Kancana menjadi penguasa Kerajaan Galuh, dengan nama nobat Prabu Dewa Niskala,dengan pusat pemerintahannya di kota Kawali(Ciamis).
Dalam Kropak 406 Carita Parahiyangan, tokoh Sang Ningrat Kancana, tercatat sebagai pengganti Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kan¬cana. la adalah tohaan di galuh, inya nu surup di guna tiga, lawasnya ratu tujuh tahun, kena salah twah, bogoh ka estri larangan ti kaluaran. Yang di¬ pertuan di Galuh. Dia yang dipusarakan di Guna Tiga. Lamanya menjadi raja hanya 7 tahun (1475 1482 Masehi). Akibat salah perilaku, memperisteri perempuan terlarang dari luar..
Adapun yang menjadi latar belakang peristiwa, hingga Prabu Dewa Niskala memperisteri estri larangan ti kaluaran, adalah akibat terjadinya perubahan politik di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dalam tahun 1473 Masehi, Raden Patah dihadiahi tanah di Demak oleh ayahnya, Prabu Kertabumi atau Brawijaya V. Ibu kandung dari Raden Patah adalah Siu Ban Ci, puteri Syekh Bentong (Tan Go Hwat), seorang ulama Cina mazhab Hanafi murid Sunan Ampel.
Siu Ban Ci mengembara ke Palembang, akibat perceraian dengan suaminya, Prabu Kertabumi. Di Palembang, Siu Ban Ci diperisteri oleh Arya Damar, seorang Bupati Majapahit yang ditempatkan di Palembang. Dari ibunya, Raden Patah mendapat nama Jin Bun, dari ayah tirinya (Arya Damar alias Arya Dillah), diberi nama Raden Praba. Sedangkan nama Patah (Al Fatah), diterima kemudian dari Sunan Ampel, sebagal guru dan juga mertuanya.
Sunan Ampel sendiri, adalah kemenakan Ratu Darwati, salah seorang isteri Prabu Kertabumi. Sunan Ampel yang bernama Ali Rakhmatullah, untuk kepentingan membuka pesantren, atas permohonan Ratu Darawati, dihadiahi tanah Ampel Denta oleh Raja Majapahit. Karena Demak berkembang menjadi kota yang ramai, maka dalam tahun 14'75 Masehi, daerah itu dijadikan kadipaten (kadipatian). Kemudian, Raden Patah, oleh ayahnya dijadikan Adipati Demak bawahan Majapahit.
Tiga tahun kemudian, Raden Patah mengerahkan pasukan Demak. menggempur Majapahit. Prabu Kertabumi beserta keluarga keraton Majapahit, meninggalkan ibukota, cerai-berai mengungsi ke berbagai jurusan. Prabu Kertabumi akhirnya tewas di daerah Bukit Sawar, mengakhiri kekuasaan ayahnya. Sebutan Majapahait dirubahnya menjadi Demak, dan Raden Patah menjadi Sultan yang pertama dengan nama nobat Sultan Alam Akbar AI Fatah.
Uniknya, peristiwa tragis yang terjadi di Majapahit itu, ada kemiripan dengan kisah proses awal penyebaran Islam Tatar Sunda. Kisah anak ingin mengislamkan ayahnya, hingga memerangi kerajaan ayahnya, hidup dalam dongeng babad: Prabu Kian Santang.
Kerajaan Majapaliit tidak runtuh, karena masih berdiri di bawah Prabu Girindrawardana (Brawijaya VI), dengan ibukota di Keling. Baru kemudian, dalam masa pemerintahan Prabu Udara (Brawijaya VII), Demak berhasil menghancur leburkan Majapahit (1517 Masehi). Menurut versi lain, serangan ke Majapahit tahun 1478 Masehi, yang menyudahi kekuasan Kertabumi, dilakukan oleh Girindrawardana.
Dari Wandan Bondri Cemara, Prabu Kertabumi mempuNyai anak laki laki, diberi nama Raden Bondan Kejawan. Dialah pernimpin rombongan pengungsi Majapahit ke Jawa Tengah. Di sana, Raden Bondan Kejawan menikah dengan Dewi Nawangwulan, yang lebih terkenal dengan nama Nyai Lara Kidul. Dewi Nawangwulan adalah Ratu Mataram yang menganut agama Bhudagotama. Dari pernikahannya, memperoleh seorang puteri, kemudian diberi nama Nyai Mas Ratu Angin angin. Kelak, Nyai Mas Ratu Angin angin diperisteri oleh Sutawijaya, yang mendirikan Mataram Islam. Nyai Mas Ratu Angin angin adalah penganut setia agama Budhagotama. Oleh karena itu, ia tersamar dalarn cerita rakyat, dan lebih dikenal dengan sebutan Nyai Roro Kidul (Ratu Pantal Selatan).
Di antara keluarga keraton Majapahit yang mengungsi, ada juga yang sampai ke Kawali, ibukota Kerajaan Galuh. Rombongan ini dipimpin oleh Raden Baribin, saudara seayah Prabu Kertabumi. Raden Baribin, adalah putera Prabu Sengawikramawardana (Brawijaya IV) dari Endang Sasmitapura. Rombongan pengungsiannya, diterima dengan tangan terbuka, oleh Prabu Dewa Niskala penguasa Kerajaan Galuh.
Kemudian, Raden Baribin dijodohkan dengan puterinya Prabu Dewa Niskala, Puteri Ratna Ayu Kirana. Puteri ini adalah adik Banyakcatra (Kamandaka) Bupati Galuh di Pasir Luhur, yang juga adik Banyakngampar Bupati Galuh di Dayeuh Luhur. Ketiga tiganya adalah putera Prabu Dewa Niskala dari isterinya yang lain.
Selaln itu, Prabu Dewa Niskala memperisteri salah seorang wanita pengungsi, yang sudah bertunangan. Dalam pengungsian, wanita itu terpisah dari tunangannya. Menurut hukum waktu itu, baik di Kerajaan Majapahit maupun di Kerajaan Sunda (termasuk Kerajaan Galuh), seorang gadis yang telah bertunangan (rara hulanjar), tidak boleh menikah dengan laki laki lain, kecuali jika tunangannya meninggal atau membatalkan pertunangan.
Dalam hal ini, ratu Galuh Prabu Dewa Niskala telah melanggar dua buah pantangan (purbatisti purbajati Sunda):
1.    Prabu Dewa Niskala, telah menjodohkan puterinya., dengan Raden Baribin, keluarga keraton Majapahit.
2.    Prabu Dewa Niskala, memperisteri seorang estri larangan (rara hulanjar).
 Oleh karena itu, Prabu Dewa Niskala, telah dianggap melanggar dua macam tabu (pantangan) keraton. Dari sejak peristiwa tragedi palagan Bubat (1357 Masehi), keluarga keraton Kawali, tabu berjodoh dengan keluarga keraton Majapahit.
Prabu Susuktunggal, penguasa Kerajaan Sunda, yang juga sebagai kakak seayah Prabu Dewa Niskala, sangat marah. Dalam tindakan terhadap ulah adiknya, ia memutuskan hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Galuh. Tentu saja, konflik kedua pemimpin negara, mengguncangkan rakyat Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Konflik berkembang rnenjadi permusuhan. Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, sama-sama mengerahkan pasukannya, ditempatkan di daerah perbatasan tepi barat dan timur sungai Citarum.
Untuk menyelamatkan keadaan, para Pembesar dari kedua kerajaan yang bermusuhan, mengadakan gotrasawala (musyawarah kekeluargaan), di wilyah netral, yang diduga di Kerajaan Batulayang (Kabupaten Bandung). Hasil musyawarah disepakati oleh kedua belah pihak, dan memutuskan, bahwa:
1.    Prabu Dewa Niskala harus turun dari tahta Kerajaan Galuh;
2.    Begitu pula Prabu Susuktungggal, harus turun dari tahta Kerajaan Sunda.
Selanjutnya, tahta Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, harus diserahkan kepada Jayadewata.
Adapun posisi Jayadewata pada saat itu, adalah:
1.    Putera sulung Prabu Dewa Niskala, dari permalsuri;
2.    Menantu Prabu Susuktunggal, atas pernikahannya dengan Puteri Kentring Manik Mayang Sunda.

Artikel Terkait